Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang Powered By GSpeech
  Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

 Oleh : Drs.H.Asmu’i,M.H.

 Hakim Pengadilan Agama Semarang

 1

Secara kuantitas perceraian di Indonesia semakin memperlihatkan tren meningkat dari tahun ke tahun. Ini terjadi secara merata di hampir seluruh Pengadilan Agama di Indonesia.

Hal demikian perlu mendapat perhatian serius. Mengapa? Sebab, sebagaimana kita ketahui dampak perceraian tidak kalah seriusnya dengan dampak kemelut rumah tangga yang mendorong perceraian itu sendiri. Selain kepada pasangan setelah bercerai, harta bersama yang telah susah payah dikumpulkan harus berantakan.

Yang tidak kalah pentingnya, perceraian berdampak  negatif kepada anak-anak dalam keluarga tersebut. Setelah mantan suami dan mantan istri mendapatkan kembali pasangan barunya masing-masing, ketika harta bersama berhasil dibagi secara adil, masalah baru berikutnya akan menimpa anak-anak mereka. Dan, masalah tersebut biasanya akan berlangsung secara berkepanjangan dimulai dari bubrah-nya rumah tangga kedua orang tuanya. Kemesraan dan kehangatan hubungan harmonis bapak-ibunya yang membuat kebahagiaan anak-anak selama ini, bagi anak-anak akan hanya tinggal kenangan. Lebih-lebih ketika ayah ibu mereka sudah menemukan pasangan barunya masing-masing. Anak-anak harus hidup dalam suasana baru bersama suami/istri pasangan baru  ibu/bapak kandungnya.

Bagi anak-anak hidup bersama ibu/ayah tiri bukan perkara mudah. Karena memerlukan adaptasi yang juga tidak mudah. Inilah awal mula petaka anak, yaitu ketika anak harus hidup dalam suasana baru bersama ayah/ibu tiri ini. Belum lagi ketika anak harus hidup bersama ibu atau ayah yang memilih mengasuh anak sendirian atau tidak menikah lagi (single parent ). Suasana sumpek orang tua karena hancurnya rumah tangga dan problematika ekonomi, sering berdampak terhadap anak, seperti kekerasan terhadap anak. Bahkan, tidak jarang karena alasan ekonomi ada orang tua secara sadar terjerumus kepada tindakan atau secara tidak sadar anak menjadi incaran trafficking.

Melihat ilustrasi tersebut, menentukan pilihan yang tepat tentang siapa yang seharusnya mengasuh anak pasca-perceraian menjadi persoalan yang sangat penting. Untuk hal penting itulah, jika masing-masing pihak (suami/istri) memerlukan, sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974, pengadilan harus campur tangan. Bagi orang yang beragama Islam, pengadilan dimaksud adalah pengadilan agama dan bagi selain Islam adalah pengadilan umum ( Pasal 63 UU Nomor 1 /1974 ). Khusus bagi Pengadilan Agama (PA), terkait dengan anak ini, kewenangannya secara absolut telah ditegaskan dalam penjelasan  pasal 49 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009. Persoalan kemudian muncul, kepada siapa anak harus diserahkan?

Para pakar hukum dari dulu sampai sekarang telah ramai memperbincangkan masalah ini. Berbagai kitab fikih, baik yang klasik maupun kontemporer telah menguraikan secara panjang lebar perdebatan para fuqoha mengenai hak pengasuhan anak ini, yaitu bab al hadlonah (pengasuhan dan pemeliharaan ). Kompilasi Hukum Islam, sebagai fikih Indonesia, telah pula ikut memberikan ketentuan. Pada pasal 156 diberikan ketentuan, bahwa anak yang belum mumayiz (belum dapat membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk ) berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya. Jika ibunya meninggal, diberikan kepada wanita garis lurus ke atas dari ibu. Jika tidak ada juga yang mampu, baru diberikan kepada ayah (mantan suami ).

Jika ayah tidak ada/tidak mampu, lalu diberikan kepada wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. Jika kelompok ini tidak ada, diberikan kepada saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. Jika tidak ada pengasuhan, diberikan kepada wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. Jika kelompok ini pun tidak ada, diberikan kepada kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. Apa yang ditegaskan oleh KHI ini sebenarnya merupakan pemilihan berbagai pendapat fuqaha.

Pertanyaan kita, mengapa dalam konteks pengasuhan ini wanita lebih mendapat prioritas. Mengenai hal itu, sebuah peristiwa pernah terekam dalam sejarah. Yaitu mengenai kasus yang dialami oleh salah seorang sahabat rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah tentang Umar bin al-Khattab yang menceraikan istrinya, Ummu Asim. Setelah cerai, Umar bin al-Khattab ingin mengambil anaknya, Asim, dari asuhan ibunya. Lalu Ummu Asim menangis dan mengadu  kepada Abu Bakar as-Siddiq. Abu Bakar kemudian berkata : ”Belaian, pelukan, pangkuan, dan nafas ibunya lebih baik dari belaian, pelukan, pangkuan, dan napas engkau, sampai anak itu remaja, di mana anak itu boleh memilih mau tinggal bersama engkau atau ibunya”.

Secara tradisi kenapa wanita lebih diprioritaskan karena masalah yang bersifat psikologis, seperti kasih sayang dan kelembutan. Dan, muaranya pada akhirnya kembali kepada kemaslahatan si anak. Maksud ini pulalah yang kini telah diakomodasi oleh pemikiran hukum kontemporer, bahwa pengasuhan anak semata-semata ditujukan kepada kepentingan si anak.

Semangat ini pulalah yang menginspirasi para aktivis sosial dan legislator menerbitkan berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan eksistensi anak, yaitu Undang-undang Nomor 23  Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pengadilan Agama yang merupakan salah satu benteng terakhir bagi perlindungan anak dan hak-haknya, akan selalu mengacu berbagai ketentuan tersebut. Tidak semata-mata kepada teks-teks pasal secara tersurat tetapi juga mempertimbangkan makna yang tersirat dalam teks-teks pasal dengan mengedepankan keadilan substantif ketimbang hanya sekadar keadilan prosedural.

 

 

Don't have an account yet? Register Now!

Sign in to your account

Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech