Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang Powered By GSpeech
  Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech

Salah Kaprah Istilah “Poligami”

Ditulis oleh Administrator. Posted in Arsip Artikel

Oleh: Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Banjarmasin)

 

Istilah poligami sudah lama akrab di telinga masyarakat Indonesia. Hampir setiap kali ada berita tentang seorang pria menikah lagi, orang langsung menyebutnya “berpoligami.” Bahkan, ketika Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pun membuat membuat pengaturan tentang lembaga hukum tersebut, banyak masyarakat bahkan para praktisi hukum (hakim dan pengacara) langsung menggunakan istilah poligami. Padahal kata “poligami” tidak pernah ditulis, Istilah poligami justru muncul dalam  praktik administrasi: ketika harus menyebut nomenklatur jenis perkara atau pembuatan laporan, misalnya perkara izin poligami. Namun, kalau kita menengok ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

Poligami: Poligini dan Poliandri

Menurut KBBI, poligami berarti sistem perkawinan di mana seseorang mempunyai lebih dari satu pasangan pada saat yang bersamaan. Jadi, poligami bukan hanya soal laki-laki yang punya banyak istri, tetapi juga bisa berarti perempuan yang punya lebih dari satu suami. Nah, inilah yang sering tidak disadari banyak orang.

Dengan demikian, secara teknis, istilah poligami punya dua cabang penting. Pertama, poligini, yaitu ketika seorang pria mempunyai lebih dari satu istri. Inilah yang selama ini dimaksud oleh masyarakat ketika menyebut poligami. Kedua, poliandri, yaitu ketika seorang perempuan mempunyai lebih dari satu suami. Kedua istilah (poligini dan poliandri) meminjam istilah ilmu logika (mantiq) adalah “species” berada di bawah payung besar yang disebut poligami (genus).

Dalam konteks hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, secara substantif, sebenarnya yang diatur adalah poligini, bukan poligami. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam—sebagai rujukan mengenai berbagai norma hukum perkawinan—secara eksplisit juga tidak pernah digunakan istilah poligami, melainkan ditulis “beristri lebih dari seorang”. Menurut Hukum Islam mupun UU Perkawinan memang dimungkinkan seorang suami beristri lebih dari satu, tetapi ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi: adanya izin dari pengadilan, persetujuan istri pertama, kemampuan menafkahi secara lahir dan batin, serta kesanggupan untuk berlaku adil.[1] Bukan sbaliknya.

Dengan demikian,  jika hendak memberikan nama perkara atau  menyebut nomenklatur perkara seharusnya istilah yang digunakan adalah yang baku menurut undang-undang yaitu perkara “izin beristri lebih seorang”.[2] Atau, jika hendak dipakai istilah padanannya biar keren, yang tepat adalah istilah “izin poligini”, bukan izin “poligami”. Dalam konteks Hukum Islam dan Hukum Positif, poliandri memang tidak pernah dikenal, meskipun secara kasuistis mungkin ada yang melakukannya. Namun, dapat dipastikan para pelakunya, tidak hanya melakukan praktik hukum illegal tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai moral masyarakat yang selama ini berlaku secara universal.[3]

Diperlukan Konsistensi Agar Tidak Membahayakan

Lalu, kenapa istilah ini bisa salah kaprah? Istilah poligami dipakai untuk memudahkan pemahaman masyarakat. Kata itu dianggap lebih populer, lebih gampang dipahami, dan sudah akrab dalam percakapan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat menganggap poligami sama dengan pria beristri lebih seorang, padahal secara konseptual penggunaan istilah tersebut tidak benar. Dan, yang benar adalah “poligini”.

Apakah kekeliruan istilah ini berbahaya? Dari sisi praktik hukum, mungkin tidak terlalu, karena aturan hukum kita sudah jelas hanya memberi izin beristri lebih seorang untuk suami. Tetapi dari sisi akademik dan keilmuan, hal ini bisa menimbulkan kerancuan. Dalam diskusi-diskusi akademis, apalagi yang menyentuh isu gender dan hak-hak perempuan, penggunaan istilah yang tidak presisi bisa membuat perdebatan kehilangan arah. Bahkan, pada tahap tertentu bisa disalahgunakan. Bayangkan tiba-tiba dibuat kesepakatan hukum dalam satu pasal orang yang melakukan praktik “poligami” akan mendapatkan “hadiah”. Orang yang melakukan praktik illegal poliandri akan ikut menuntut hadiah itu.

Oleh karena itu, dengan tetap menyebut “poligami” untuk menyatakan “poligini”, sesungguhnya kita sedang menyederhanakan sebuah konsep yang lebih luas. Bisa jadi, tanpa sadar kita juga membatasi pemahaman masyarakat tentang perkawinan itu sendiri.

Di sinilah pentingnya menjunjung tinggi bahasa nasional kita. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga identitas dan wahana berpikir. Ketika istilah hukum, sosial, atau budaya dipakai secara keliru lalu dibiarkan begitu saja, lambat laun kekeliruan itu akan dianggap kebenaran. Akibatnya, kita kehilangan ketelitian berpikir, bahkan bisa mereduksi nilai-nilai hukum yang sesungguhnya.

Karena itu, pelurusan istilah bukan sekadar urusan akademik semata. Ia adalah bagian dari menjaga muruah bahasa nasional. Dengan berpegang pada bahasa yang tepat, diskusi menjadi lebih sehat, argumentasi lebih kuat, dan masyarakat pun bisa memahami persoalan hukum keluarga dengan lebih jernih. Mengabaikan ketepatan bahasa sama dengan mengabaikan ketepatan berpikir. Dan bila kita sudah abai terhadap bahasa, sesungguhnya kita sedang membiarkan kekeliruan tumbuh dalam pikiran kolektif bangsa.

Akhirnya, ada baiknya mari sama-sama kita simak peringatan  Harimurti Kridalaksana (ahli linguistik dan penyusun Kamus Linguistik), bahwa suatu istilah harus dipakai dengan konsisten, karena “istilah adalah alat berpikir ilmiah”. Jika satu istilah dipakai secara sembarangan, maka pengertian sebuah konsep akan kabur. 

Wallahu a’lam.

 

 

 

 

[1] Pasal 40 jo 41 PP Nomor 9 Tahun 1975

[2] LIhat Pasal 3 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. penjelasan Pasal 49 ayat 2 angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1989

[3] Mungkin hanya dalam serial (fiktif) Mahabharata saja praktik poliandri ini dikenal.


Slider
Don't have an account yet? Register Now!

Sign in to your account

Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech