Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang Powered By GSpeech
  Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech

Cara Mudah Telusuri Perkara

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 0458/DjA/HM.02.3/2/2016, tanggal 11 Februari 2016 tentang Implementasi Aplikasi SIPP Versi 3.1.1 di Lingkungan Peradilan Agama. maka peran Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP Versi 3.1.1), selanjutnya disebut sebagai SIPP, menjadi semakin penting dan diandalkan untuk proses administrasi dan penyediaan informasi baik untuk pihak internal, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Sistem Informasi Pengawasan
Mahkamah Agung Republik Indonesia

Sarana agar masyarakat pencari keadilan dapat mengawasi secara langsung pejabat Mahkamah Agung beserta jajaran di bawah naungan Mahkamah Agung RI serta terbukanya akses bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan di pengadilan.

Zona Integritas

Zona Integritas (ZI) adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi / Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik (PERMENPANRB No. 52 Tahun 2014). Pengadilan Agama Semarang menjadi salah satu unit kerja penerima apresiasi dan penganugerahan ZI.
Kami berkomitmen untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, melayani, dan bebas korupsi.

Tutorial Penyelesaian Gugatan Ekonomi Syariah

Video yang berisi tentang cara penyelesaian perkara ekonomi syariah dengan acara yang sederhana

e-Court Mahkamah Agung RI

Layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara secara Online, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya Perkara secara Online, Pembayaran secara Online, dan Pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik.

previous arrow
next arrow
Slider
                          
                  
                 
           
                 

 

 
 Zona Integritas PA Semarang 2024
     

Selamat Datang di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Agama Semarang

(08.00 - 16.30)


🔍
Cek Perkara


📆
Jadwal Sidang

📇
Informasi Perkara

⚖️
Perkara Gratis

📠
Biaya Perkara

📜
Produk Pengadilan

 


🧾
Prosedur Berperkara

📑
Syaratan Pendaftaran

📚
e-Brosur

📃
Contoh Format

🛡️
Pengawasan

🔔
Sosial Media
✆ SiNofita Whatsapp Layanan Informasi, Notifikasi, Konsultasi & Pengaduan: 0821-3872-2020

Oleh: Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Banjarmasin)

 

Istilah poligami sudah lama akrab di telinga masyarakat Indonesia. Hampir setiap kali ada berita tentang seorang pria menikah lagi, orang langsung menyebutnya “berpoligami.” Bahkan, ketika Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pun membuat membuat pengaturan tentang lembaga hukum tersebut, banyak masyarakat bahkan para praktisi hukum (hakim dan pengacara) langsung menggunakan istilah poligami. Padahal kata “poligami” tidak pernah ditulis, Istilah poligami justru muncul dalam  praktik administrasi: ketika harus menyebut nomenklatur jenis perkara atau pembuatan laporan, misalnya perkara izin poligami. Namun, kalau kita menengok ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

Poligami: Poligini dan Poliandri

Menurut KBBI, poligami berarti sistem perkawinan di mana seseorang mempunyai lebih dari satu pasangan pada saat yang bersamaan. Jadi, poligami bukan hanya soal laki-laki yang punya banyak istri, tetapi juga bisa berarti perempuan yang punya lebih dari satu suami. Nah, inilah yang sering tidak disadari banyak orang.

Dengan demikian, secara teknis, istilah poligami punya dua cabang penting. Pertama, poligini, yaitu ketika seorang pria mempunyai lebih dari satu istri. Inilah yang selama ini dimaksud oleh masyarakat ketika menyebut poligami. Kedua, poliandri, yaitu ketika seorang perempuan mempunyai lebih dari satu suami. Kedua istilah (poligini dan poliandri) meminjam istilah ilmu logika (mantiq) adalah “species” berada di bawah payung besar yang disebut poligami (genus).

Dalam konteks hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, secara substantif, sebenarnya yang diatur adalah poligini, bukan poligami. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam—sebagai rujukan mengenai berbagai norma hukum perkawinan—secara eksplisit juga tidak pernah digunakan istilah poligami, melainkan ditulis “beristri lebih dari seorang”. Menurut Hukum Islam mupun UU Perkawinan memang dimungkinkan seorang suami beristri lebih dari satu, tetapi ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi: adanya izin dari pengadilan, persetujuan istri pertama, kemampuan menafkahi secara lahir dan batin, serta kesanggupan untuk berlaku adil.[1] Bukan sbaliknya.

Dengan demikian,  jika hendak memberikan nama perkara atau  menyebut nomenklatur perkara seharusnya istilah yang digunakan adalah yang baku menurut undang-undang yaitu perkara “izin beristri lebih seorang”.[2] Atau, jika hendak dipakai istilah padanannya biar keren, yang tepat adalah istilah “izin poligini”, bukan izin “poligami”. Dalam konteks Hukum Islam dan Hukum Positif, poliandri memang tidak pernah dikenal, meskipun secara kasuistis mungkin ada yang melakukannya. Namun, dapat dipastikan para pelakunya, tidak hanya melakukan praktik hukum illegal tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai moral masyarakat yang selama ini berlaku secara universal.[3]

Diperlukan Konsistensi Agar Tidak Membahayakan

Lalu, kenapa istilah ini bisa salah kaprah? Istilah poligami dipakai untuk memudahkan pemahaman masyarakat. Kata itu dianggap lebih populer, lebih gampang dipahami, dan sudah akrab dalam percakapan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat menganggap poligami sama dengan pria beristri lebih seorang, padahal secara konseptual penggunaan istilah tersebut tidak benar. Dan, yang benar adalah “poligini”.

Apakah kekeliruan istilah ini berbahaya? Dari sisi praktik hukum, mungkin tidak terlalu, karena aturan hukum kita sudah jelas hanya memberi izin beristri lebih seorang untuk suami. Tetapi dari sisi akademik dan keilmuan, hal ini bisa menimbulkan kerancuan. Dalam diskusi-diskusi akademis, apalagi yang menyentuh isu gender dan hak-hak perempuan, penggunaan istilah yang tidak presisi bisa membuat perdebatan kehilangan arah. Bahkan, pada tahap tertentu bisa disalahgunakan. Bayangkan tiba-tiba dibuat kesepakatan hukum dalam satu pasal orang yang melakukan praktik “poligami” akan mendapatkan “hadiah”. Orang yang melakukan praktik illegal poliandri akan ikut menuntut hadiah itu.

Oleh karena itu, dengan tetap menyebut “poligami” untuk menyatakan “poligini”, sesungguhnya kita sedang menyederhanakan sebuah konsep yang lebih luas. Bisa jadi, tanpa sadar kita juga membatasi pemahaman masyarakat tentang perkawinan itu sendiri.

Di sinilah pentingnya menjunjung tinggi bahasa nasional kita. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga identitas dan wahana berpikir. Ketika istilah hukum, sosial, atau budaya dipakai secara keliru lalu dibiarkan begitu saja, lambat laun kekeliruan itu akan dianggap kebenaran. Akibatnya, kita kehilangan ketelitian berpikir, bahkan bisa mereduksi nilai-nilai hukum yang sesungguhnya.

Karena itu, pelurusan istilah bukan sekadar urusan akademik semata. Ia adalah bagian dari menjaga muruah bahasa nasional. Dengan berpegang pada bahasa yang tepat, diskusi menjadi lebih sehat, argumentasi lebih kuat, dan masyarakat pun bisa memahami persoalan hukum keluarga dengan lebih jernih. Mengabaikan ketepatan bahasa sama dengan mengabaikan ketepatan berpikir. Dan bila kita sudah abai terhadap bahasa, sesungguhnya kita sedang membiarkan kekeliruan tumbuh dalam pikiran kolektif bangsa.

Akhirnya, ada baiknya mari sama-sama kita simak peringatan  Harimurti Kridalaksana (ahli linguistik dan penyusun Kamus Linguistik), bahwa suatu istilah harus dipakai dengan konsisten, karena “istilah adalah alat berpikir ilmiah”. Jika satu istilah dipakai secara sembarangan, maka pengertian sebuah konsep akan kabur. 

Wallahu a’lam.

 

 

 

 

[1] Pasal 40 jo 41 PP Nomor 9 Tahun 1975

[2] LIhat Pasal 3 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. penjelasan Pasal 49 ayat 2 angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1989

[3] Mungkin hanya dalam serial (fiktif) Mahabharata saja praktik poliandri ini dikenal.

  

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

"Perempuan dan Label Kaum Rentan: Refleksi atas Paradoks Kesetaraan"

Dalam banyak forum kebijakan, perempuan kerap disebut sebagai bagian dari kaum rentan. Di antara kategori lain seperti anak-anak, disabilitas, lansia, atau masyarakat adat, perempuan sering menempati daftar teratas kelompok yang "harus dilindungi". Tapi timbul pertanyaan: apakah semua perempuan memang selalu rentan? Apakah laki-laki tidak mungkin termasuk kaum rentan? Dan yang lebih penting, apakah pelabelan ini tidak justru bertentangan dengan semangat kesetaraan gender yang diperjuangkan selama ini?

Secara umum, kaum rentan adalah kelompok masyarakat yang berada dalam posisi lemah secara sosial, ekonomi, atau hukum, sehingga lebih mudah mengalami pelanggaran hak dan kesulitan mengakses keadilan. Dalam banyak realitas, perempuan memang masih menghadapi kekerasan berbasis gender, diskriminasi di dunia kerja, pengabaian hak kesehatan reproduksi, dan ketimpangan akses pendidikan—khususnya di wilayah pedesaan atau komunitas marginal. Maka wajar jika dalam konteks ini, perempuan masuk dalam kategori rentan.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa kerentanan bukanlah sifat kodrati. Ia bukan bawaan jenis kelamin, tetapi lebih merupakan hasil dari konstruksi sosial dan relasi kuasa yang timpang. Perempuan disebut rentan karena sistem dan budaya yang masih patriarkis, bukan karena dirinya lemah. Di sisi lain, laki-laki pun bisa menjadi kaum rentan jika berada dalam kondisi serupa: miskin, penyandang disabilitas, korban kekerasan rumah tangga, pekerja informal yang tidak dilindungi hukum, atau hidup dalam konflik.

Label “perempuan sebagai kaum rentan” bisa menjadi problematis jika digunakan secara sembarangan. Ia bisa berubah menjadi stigma yang justru melemahkan posisi perempuan, seolah-olah mereka selalu dalam posisi pasif yang menunggu perlindungan, bukan sebagai subjek aktif yang berdaya dan menentukan arah hidupnya sendiri. Ini tentu bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender yang menekankan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak, potensi, dan tanggung jawab yang setara dalam kehidupan sosial.

Padahal, sejarah dan kenyataan menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga pejuang. Mereka memimpin gerakan sosial, menopang ekonomi keluarga, menjadi pendidik utama anak-anak bangsa, bahkan memegang peran strategis dalam politik dan pemerintahan. Kita bisa melihat sosok-sosok seperti Cut Nyak Dien, Kartini, hingga perempuan-perempuan di akar rumput yang memimpin komunitasnya dengan gagah berani.

Karena itu, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat kerentanan secara interseksional, yaitu memahami bahwa faktor-faktor seperti kelas sosial, pendidikan, geografi, disabilitas, dan usia saling beririsan dan mempengaruhi kerentanan seseorang. Seorang perempuan kaya di kota besar tentu tidak berada dalam posisi yang sama dengan perempuan miskin di pelosok desa. Sama halnya, seorang laki-laki penyandang disabilitas tanpa akses layanan sosial pun bisa lebih rentan daripada perempuan sehat dari kelas menengah.

Kesetaraan gender tidak berarti menafikan kebutuhan perlindungan bagi perempuan dalam konteks tertentu. Justru, kesetaraan berarti memastikan setiap orang—terlepas dari jenis kelaminnya—mendapat akses, perlakuan, dan keadilan sesuai kondisi nyatanya. Bukan dengan menyamaratakan, tetapi dengan memperlakukan secara adil dan kontekstual.

Oleh karena itu, pelabelan perempuan sebagai kaum rentan sebaiknya digunakan secara hati-hati, proporsional, dan dengan kesadaran kritis. Tujuannya bukan untuk menstigma, tetapi sebagai pengingat bahwa perjuangan menuju masyarakat yang setara masih panjang, dan bahwa perlindungan harus beriringan dengan pemberdayaan. Perempuan bukan objek kasihan, tetapi subjek perubahan.

 

Biodata Penulis
Nama: H.Asmu'i Syarkowi;
Lahir di Banyuwangi, 15 Oktober 1962;
Alumni UIN Sunan Kalijaga tahun 1988 (S-1), UMI Makassar tahun 2001 (S-2)

 

  

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

 

            Dalam salah satu kitabnya Tanbih al-Ghafilin,  Abu al-Laits al-Samarqandi  halaman 404  pada pembahasan “haq al-mar’ati ‘ala zaujiha” (Hak Perempuan Atas Suaminya), menulis sebuah riwayat tentang  seorang laki-laki yang  menghadap kepada Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khattab r.a. Kisah selengkapnya sebagai berikut:

…… ada seorang lelaki datang kepada Umar bin al-Khatthab. Ia mengadukan kepadanya tentang istrinya. Ketika lelaki itu sampai di pintu rumah Umar, ia mendengar istri Umar yaitu Ummu Kultsum membentaknya. Lelaki itu pun berkata (dalam hatinya), ‘Aku mau mengadukan kepadanya mengenai istriku. Namun, justru keadaannya sama saja denganku.’ Ia pun kembali, tetapi Umar malah memanggilnya. Umar pun menanyainya (mengapa ia pergi), ia menjawab, ‘Aku ingin mengadukan kepadamu tentang istriku. Tetapi ketika aku mendengar bagaimana sikap istrimu kepadamu yang barusan aku dengar, aku pun memutuskan kembali saja.’ Umar berkata, ‘Aku membiarkannya seperti itu karena ada hak-haknya yang harus aku tanggung. Pertama, ia adalah penghalang antara aku dengan neraka. Karena aku menjadikannya sebagai ketenanganku dari perkara (syahwat) yang haram. Kedua, ia adalah perbendaharaanku, karena ketika aku keluar dari rumahku ia yang akan menjaga hartaku. Ketiga, ia harus capek karenaku karena ia yang mencuci bajuku. Keempat, ia adalah orang yang mendidik anak-anakku. Kelima, ia yang menyiapkan roti dan masakan untukku.’ Lelaki itu pun berkomentar, ‘Sesungguhnya keadaan kita sama namun  justru aku tidak memaafkannya, maka aku akan memaafkannya.”

 

Terlepas adanya pro dan kontra mengenai kredibilitas riwayatnya, kisah tersebut di samping telah tertulis di beberapa kitab kuning yang lain, juga sering menjadi bahan ceramah para pendakwah ketika menyorot seputar perilaku istri yang hobi mengomel.

Secara empirik, cerita tetang seorang istri ‘ngomel’ tampaknya sudah masyhur terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Cerita ini biasa kita dapat ketika para suami berkumpul di lapangan tenis, di sawah, atau tempat lain yang khusus dihadiri kaum Adam, saling  curhat perihal perilaku istri mereka masing-masing. Biasanya cerita muncul, ketika ada seseorang yang lebih dahulu mengawali, baik sambil gurau maupun serius. Meskipun berbagai cerita itu ada yang lucu dan bahkan sedikit menggelikan, tetapi pada umumnya para kaum Adam ini membawakan cerita dengan penuh canda. Dan, pada akhirnya kebanyakan mereka menutup cerita dengan gelak tawa pertanda mereka sejatinya senasib dan perjuangan dalam meniti kehidupan keluarga, khususnya ketika menghadapi istri dengan aneka tingkahnya.

Terlepas dari fakta adanya suami yang memang brengsek, terjadinya berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, sering diakibatkan oleh ketidaktahanan para suami menghadapi omelan istri. Redaksi kalimat yang digunakan para istri sering di luar nalar. Dan, ketika suami berusaha menjelaskan pun, pada saat istri sedang sewot, tidak akan diterima. Justru diksi-diksi ‘berbahaya’ akan keluar dari mulut istri apabila dia sedang pada puncak kemarahannya. Ketika semua penjelasan tidak bisa diterima istri, tidak jarang suami yang “jaim” dan tidak tebal telinga, justru membalasnya secara tidak terduga, yaitu dengan kekerasan fisik. Padahal, kisah tentang istri mengomel tersebut memang sudah sangat ‘melegenda’.

Kisah ‘omelan’ perempuan yang paling monumental adalah peristiwa yang terjadi zaman rasulullah SAW, yaitu ketika ada salah seorang sahabat perempuan ‘berani’ mendebat rasulullah SAW perihal ketentuan hukum diberlakukan terhadapnya yang dirasakan tidak adil. Tidak sampai di situ, sahabat perempuan itu pun kemudian mengadukan ketidakadilan tersebut langsung kepada Allah SWT.  Yang luar biasa, ternyata pengaduannya direspon oleh Allah yang kemudian memberikan hukum sesuai dengan ekspektasinya. Sahabat perempuan itu tidak lain adalah Khaulah binti Tsa’labah istri Aus bin As-Shamit, yang memiliki paras cantik nan jelita. Dia menolak ajakan berhubungan seks saat suaminya sangat menginginkannya. Suaminya pun marah dan mengatakan “bagiku engkau adalah seperti punggung ibuku”. Setelah ucapan tersebut diadukan rasulullah SAW. Khaulah sangat tidak terima dan ‘mengomel’, ketika rasulullah SAW menghukumi ucapan suaminya sebagai talak dan tetap menyatakan bahwa setelah itu dia haram bagi suaminya.  Kisah keberaniannya terabadikan dalam Al Qur’an surat Al Mujadilah ayat 1 sampai 4 (artinya) sebagai berikut: 

“Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Al Mujadilah, 58: 1-4)

 

Tentang pengaduan kisah Khaulah tersebut, Gus Baha mempunyai catatan tersendiri. Dengan sedikit humor, beliau mengatakan, setidaknya menurutnya peristiwa Khaulah ini dapat dipetik 4 pelajaran, yaitu: 1. Bahwa baru kali itu  rasulullah SAWi didebat umatnya oleh orang perempuan pula. 2. Bahwa tidak hanya cukup didebat, beliaupun pun ‘dilaporkan’ kepada Allah. 3.              Perempuan itu memang luar biasa. Seorang nabi saja didebat, apalagi kita manusia biasa yang bukan nabi. 4. Laporan perempuan yang bernada protes tersebut ternyata didengar sekaligus direspon Allah.

            Akan tetapi dalam konteks hukum, kasus Khaulah sejatinya memberikan pelajaran bahwa ketidakadilan pada akhirnya memunculkan sikap nekat berupa keberanian sekaligus perlawanan. Dan, dalam kasus Khaulah itu keberanian dan perlawanan itu justru muncul dari seorang perempuan. Sehingga, kalau  ekspresi Khaulah itu boleh disebut sebagai suatu omelan, omelannya merupakan omelan berkelas yang pernah ada dari seorang perempuan. Wallahu a’lam.

Pengumuman PA Semarang

     


Pencarian Berita:    

Berita Pengadilan

  Artikel Pengadilan
   
Salah Kaprah Istilah “Poligami”

Salah Kaprah Istilah “Poligami”

10.09.2025 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 39
‘Omelan’ Berkelas dari Seorang Perempuan

‘Omelan’ Berkelas dari Seorang Perempuan

20.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 3224
Sukacita Menyambut Ramadhan 1445 H

Sukacita Menyambut Ramadhan 1445 H

07.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 5567
Suap, Hadiah, dan Hakim

Suap, Hadiah, dan Hakim

07.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 25215
 

Prestasi

KPPN II Semarang

Satuan Kerja Terbaik dalam Capaian Indikator Deviasi Halaman III DIPA 01
(Capaian 100)

KPPN II Semarang

Satuan Kerja Terbaik dalam Capaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran DIPA 04
(Capaian 100)

KPPN II Semarang

Satuan Kerja Terbaik dalam Capaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran DIPA 01
(Capaian 100)

KPPN II Semarang

Satuan Kerja Terbaik dalam Capaian Indikator Deviasi Halaman III DIPA 04
(Capaian 100)

PTA Awards

Apresiasi atas Kepatuhan Update Data Pada Aplikasi SIKEP MA RI 100% Periode Triwulan II Tahun 2025

 

PTA Awards

Atas prestasinya sebagai Satuan Kerja Peringkat Pertama dengan Perkara E-Court Banding Terbanyak pada Periode Triwulan II Tahun 2025

 

PTA Awards

Apresiasi atas Kepatuhan Update Data Pada Aplikasi SIKEP MA RI 100% Periode Triwulan II Tahun 2025

PTA Awards

Penghargaan atas prestasi satuan kerja peringkat pertama dengan perkara e-court banding terbanyak

PTA Awards

Penghargaan atas kepatuhan update data pada aplikasi SIKEP MA RI 100 % periode Triwulan I Tahun 2025

Media Pendukung


Slider
Don't have an account yet? Register Now!

Sign in to your account

Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech